Sumber Kebahagiaan Kita?

Dengan Uang Bisa Bahagia? Tunggu Dulu!


Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan teman baik saya. Obrolan kita mengalir begitu saja. Karena kedekatan kita, tidak ada rasa canggung atau sungkan untuk saling bercerita bahkan terkait masalah pribadi dan keluarga. Karena kedekatan kita juga, tak jarang dia berbagi cerita bahagia dan sedihnya.

Kemarin dia begitu serius ingin bercerita. Dia memintaku untuk mendengarkan dengan serius juga. Dia mengajakku ke masa kecilnya. Saat dia masih sekolah di Sekolah Dasar, dia begitu suka dengan gambar. Bahkan dia selalu menggambar tiap hari. Sehari bisa empat sampai enam kali. Temanku terlihat serius, dia melanjutkan ceritanya.

Suatu hari ketika dia menyelesaikan gambarannya yang ke tiga di hari itu, bapaknya memanggilnya. Dia pun langsung menuju arah suara. Dia terkejut. Kaget. Sedih. Kecewa. Hasil gambarnya selama ini yang dia kumpulkan, sudah berserakan di lantai, bercampur dengan barang sampah lainnya. Di situ ada bungkus permen yang beberapa hari lalu dia buang di bawah ranjang. Ada juga guntingan kertas kecil-kecil, debu dan sarang laba-laba yang entah dari mana asalnya. Bapaknya memang baru membersihkan rumah, tak terkecuali kamar temanku tadi.

"Kertas-kertas ini buang ke tempat sampah sana!", bapaknya meminta sambil meremas-remas kertas gambarnya. Bapaknya tidak bertanya dulu itu kertas apa. Temanku makin kecewa. Sedih dan kecewa bercampur jadi satu. Hatinya hancur. Gambarannya yang dia kumpulkan selama ini dianggap sampah oleh bapaknya.  Air mata mulai terlihat di wajah temanku. Dia lanjut bercerita.

Kehidupan kecilnya penuh dengan kisah sedih dan banyak tekanan batin yang dia dapatkan justru dari keluarganya sendiri. Dia dan kakak-kakaknya merasakan hal yang sama. Saya bisa merasakan kesedihan yang terpancar dari wajahnya. Kali ini dia tidak bisa menahan air matanya. Saya terdiam, membiarkannya mengeluarkan segala kesedihan. Bahkan saat ini, saat dia sudah dewasa, terkadang dia  juga masih mengalami hal yang sama. Dia bercerita, beberapa hari yang lalu dia membeli sesuatu untuk dipasang di kamarnya. Bukan pujian atau sanjungan yang dia dapatkan, malah ucapan menyedikan, menusuk hati. Buat apa beli barang itu, tidak bermanfaat. Begitu ucapan yang dia dapatkan. Belum selesai di situ, masih ditambahi lagi ucapan yang lebih menyakitkan. Kamu itu akan tetap bisa tidur tanpa barang itu. Temanku menirukan gaya bicara bapaknya yang merendahkan.

Saat dia ingin melanjutkan ceritanya, saya menyela agar dia tidak menceritakan semaunya. Saya takut kesedihan dan kekecewaan kepada bapaknya tumbuh lagi. Saya tahu kalau hal ini yang diinginkan setan. Saya khawatir setan akan memanfaatkan emosi teman saya ini untuk menyeretnya ke jalan yang tidak Allah swt ridhoi. 

Teman saya ini memang lelaki yang perasaan sekali. Badannya gagah. Tapi hatinya gampang leleh. Tidak banyak yang tahu kalau dia adalah lelaki yang mudah tersentuh hatinya. Yang kebanyakan orang tahu tentang temanku ini adalah dia lelaki yang tangguh, maco, periang dan suka membantu. Tidak nampak pada dirinya kesedihan dan kekecewaan yang terpendam sejak kecil. Semuanya tersimpan rapi. Mungkin hanya aku dan beberapa teman akrabnya saja yang tahu.

Hal ini menyadarkan saya tentang arti sebuah kebahagiaan. Teman saya yang dari keluarga tergolong kaya, tidak mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya dari harta keluarganya, bapak ibunya. Justru harta itu membuat bapaknya tidak memperhatikan hati dan perasaannya. Yang terpenting semua kebutuhan anak-anaknya tercukupi, tapi tidak dengan hatinya.

Selain itu, saya jadi makin tahu bahwa tidak semua orang yang nampak bahagia dari luar, bahagianya itu bahagia yang sebenarnya. Bisa jadi dia menampakkan kebahagiaan untuk menutupi kesedihannya. Hal ini membuat saya lebih berhati-hati dalam menjaga ucapan kepada siapapun. Karena kita tidak tahu nantinya ucapan kita atau candaan kita sebenarnya malah semakin menambah kesedihan orang lain.

Terakhir, ujian hidup seberat apapun yang Allah swt berikan, pasti bisa dilalui asalkan disertai dengan keimanan dan kesabaran. Bukankah Allah swt memberikan ujian sesuai dengan kemampuan hambaNya? Bukankah setiap kesusahan Allah swt sertakan juga kemudahan setelahnya? Hal ini membuat saya semakin bersemangat dalam ujian yang Allah swt sedang berikan kepada saya lewat anak-anak saya. Saya juga semakin yakin kalau seberat apapun ujian kita, ada orang lain yang mempunyai ujian lebih berat, jadi ujian pun harus tetap disyukuri.
Wallaahu a'lam... Allah swt Maha Tahu segala hal...

Magelang, 18 November 2018

Belum ada Komentar untuk "Sumber Kebahagiaan Kita?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel