Atresia Ileum (Part 3)
22 November 2018
Tulis Komentar
Begitu mendengar nama istri kami dipanggil melalui speaker, kami bergegas menuju rungan NICU, tempat anak kami di rawat. Kami masih ingat betul jadwal operasi jam 14.00, tapi jam 09.15 kami sudah dipanggil. Apa mungkin masalah di perut anak kami sudah ketemu, jadi tidak perlu operasi? Atau justru operasinya dimajukan karena kondisi anak kami yang makin tidak baik? Setiap langkah, pertanyaan-pertanyaan muncul begitu deras.
Setelah menekan sandi pada tombol angka, pintu terbuka. Istri saya langsung menuju meja jaga, mengkonfirmasi panggilan. Saya menunggu di ruang konsultasi, tidak jauh dari pintu masuk. Kami menunggu sekitar 2 menitan sampai kami ditemui dokter. Baru kali ini saya bertemu dokter ini. Mungkin giliran dokter ini yang sekarang jaga.
Setelah dokter itu duduk, dokter itu lansung mengajak saya berjabat tangan lalu memperkenalkan diri. Ternyata dokter ini adalah dokter anestesi yang akan menjelaskan terkait tindakan pembiusan sebelum operasi. Anak kami akan mendapatkan bius total karena pembedahan yang dilakukan adalah pembedahan besar. Tidak lupa dokter anestesi juga menjelaskan kemungkinan terkecil sampai terbesar. Lagi, saya diminta menandatangani surat pernyataan sudah menerima sosialisasi sebelum tindakan dan bersedia menerima segala resiko yang bisa saja terjadi. Setelah tanda tangan, saya memastikan lagi jam pelaksanaan operasi. Jawaban yang sama, insyaAllaah operasi akan dilakukan jam 14.00.
Kami kembali ke bangsal, bersiap untuk sarapan. Selesai sarapan kami kembali ke bangsal dan masih berharap belum dipanggil oleh petugas bangsal. Saya berdoa semoga saat operasi nanti, barang-barang kami masih di tetap bisa aman di bangsal. Kami tidak berharap petugas bangsal meminta kami keluar hari ini.
Setelah sholat Dhuhur, kami sudah bersiap-siap untuk panggilan untuk operasi. Istri saya masuk ke NICU. Saya duduk di ruang tunggu di depan pintu masuk NICU. Sekitar jam 13.30 saya dipanggil masuk ke NICU. Ada 2 dokter dan perawat yang sudah siap membawa anak kami ke ruang operasi darurat, lantai dua gedung IGD/UGD. Perjalanan menuju ruang operasi sangat cepat. Langkah kaki 2 dokter dan perawat itu seolah dikejar waktu. Istri saya, yang baru saja melahirkan, belum bisa mengimbangi langkah mereka. Saya ada di tengah. Bingung antara kasihan dengan anak saya yang dibawa begitu cepat sekali dan kasihan dengan istri yang belum bisa berjalan cepat. Sesekali saya menoleh ke belakang. Memastikan istri saya masih terlihat, maklum, dia belum hafal jalan di Sardjito.
Kami sampai di ruang operasi kira-kira jam 13.45. Saat itu kami masih boleh masuk ke ruang tunggu operasi, sambil menunggu ruang operasi di siapkan. Saat menunggu ini saya manfaatkan betul untuk bisa mendekat ke anak saya. Saya cium. Saya pegang tangannya. Saya bisiki di telinganya, " Anak ayah harus kuat ya. Ayah, bunda sama kakak doain adek." Saya menahan air mata. Tiba-tiba anak saya muntah. Cairannya berwarna hijau. Saya kaget. Langsung saya panggil dokter. Dokter langsung mengambil selang kecil persis dengan yang terpasang di mulut anak saya. Dokter langsung menggati selang kecil yang terpasang di mulut anak saya dengan selang yang baru. Entah apa nama selang kecil itu. Yang pasti saya ingin anak saya segera ditangani.
Sekitar jam14.10, tim dokter meminta kami untuk terus berdoa selama proses operasi. Setelah kami dikuatkan dengan motivasi, mereka meminta kami untuk menunggu di luar. Berat langkah kami meninggalkan anak kami. Kami melangkah keluar dengan terus berdoa, memohon yang terbaik dari Yang Maha Baik.
Begitu kami keluar, sudah ada adik dari istri dan temannya satu kost yang menunggu. Mereka menguatkan. Kami tidak banyak berbicara di 5 menit pertama. Adik kami memulai pembicaraan. Dia menanyakan kapan dioperasinya. Kemudian kapan selesainya. Untuk pertanyaan terakhir ini kami tidak bisa menjawab.
Hampir 1 jam kami menunggu, salah satu dokter meminta kami masuk ke ruang tunggu tempat di mana kami mengantar anak kami tadi. Dokter memperkenalkan diri, dokter Gunadi namanya. Beliau dokter spesialis bedah anak yang menangani anak kami. Belakang kami ketahui, beliau bergelar PhD. Beliau menjelaskan bahwa permasalahan pada anak kami sudah ditemukan. Beliau melanjutkan penjelasannya. Ada bagian usus anak saya yang tidak terbentuk, jadi antara usus besar dan usus halus tidak nyambung, terputus. Makanan (ASI) yang seharusnya terus menuju ke usus besar tertahan di usus halus. Semakin besarnya perut anak saya adalah karena banyaknya ASI yang tertahan di sana, dan hanya sedikit yang keluar dari selang kecil di mulut. Beliau menggambarkan di selembar kertas bagaimana usus anak saya. Bahkan beliau juga menunjukkan foto usus anak saya melalui HP beliau. Rasanya, subhanallah. Kami melihat usus manusia, usus anak kami sendiri. Biasanya kami hanya bisa melihat usus ayam, kambing atau sapi yang disembelih. Sekarang kami melihat usus anak kami, walau hanya di HP dr. Gunadi, PhD., Sp.BA.
Sebelum keluar rungan lagi, kami diberi tahu bahwa nanti akan dibikinkan jalan keluar untuk BAB sementara di perut bagian kanan. Akan ada usus yang dikeluarkan untuk jalan BAB. Alhamdulillaah dubur anak kami ada dan bagus. Hanya saat itu belum bisa langsung dilewati untuk BAB karena usus besarnya mengecil. Hal ini karena usus besar itu belum terpakai, jadi otomatis mengecil. Begitu yang saya fahami dari penjelasan dokter. Jadi nanti setelah operasi, anak kami terpasang kantung tampungan kotoran, colostomy bag namanya. Bahkan sampai tulisan ini saya publish, kantong itu masih terpasang di perut kanan anak saya.
Tidak lama setelah saya keluar ruangan, tiba-tiba HP saya berdering. Pak Ir, adik dari bapak mertua saya ternyata. Pak Ir ternyata sudah berada di Sardjito dan menanyakan di mana ruang opersinya. Selang 10 menit beliau bersama istri sudah sampai di ruang tunggu operasi di lantai dua. Banyak doa yang beliau sampaikan selain kalimat-kalimat menguatkan saya dan istri. Cukup lama beliau bersama kami, sebelum akhirnya pamit untuk menjemput anakknya yang sedang kuliah di UAD.
Adzan Maghrib terdengar jelas memenuhi ruangan. Belum juga terlihat tanda-tanda dokter keluar ruangan. Saya coba mengintip dari batas stiker blur yang tertempel di pintu. Tidak nampak seorangpun. Pintu ruang dalam masih tertutup. Saya kembali ke ruang tunggu, mengajak adik istri dan temannya untuk sholat di ruang tunggu dengan tikar yang tadi diambil di bangsal.
Selesai sholat Maghrib, belum juga terlihat dokter yang keluar. Kami terus menunggu. Hingga akhirnya ada yang membuka pintu, tidak ada yang keluar. Pintu kembali tertutup. Saya mendekat. Memastikan apa yang terjadi. Tidak ada dokter yang terlihat di dalam ruangan. Saya semakin khawatir. Ada apa gerangan. Saya kembali ke ruang tunggu. Istri bertanya. Saya menggelengkan kepala, tanda tidak tahu apa-apa. Saya kembali duduk menunggu ada kepastian.
Tidak lama setelah saya duduk, tim dokter keluar. Mereka bahkan sudah dengan pakaian biasa. Orang mungkin tidak akan mengira mereka adalah dokter yang baru saja melakukan operasi terhadap anak saya. Saya lansung menghampiri. Menanyakan kondisi anak saya. Seorang dokter perempuan menjawab. Alhamdulillaah anak saya dalam kondisi baik, hanya saja belum sadar karena pengaruh bius. Saya lega. Bersyukur. Tidak pernah saya merasakan lega seperti yang saya alami waktu itu. Bahkan sampai saya tidak menyadari kalau rombongan dokter bedah anak tadi sudah pergi.
Anak saya kemudian keluar dari ruang operasi ditemani perawat dan dokter anak. Anak saya belum sepenuhnya sadar. Masih terpejam di dalam box dorong. Infus dan oksigen masih terpasang. Dokter anak memanggil istri saya. Kami mendekat. Mereka mengajak kami untuk kembali ke NICU. Masih sama, mereja berjalan sangat cepat, kali ini saya lebih tenang. Saya menemani istri yang jalan pelan.
Setelah itu kami menunggu anak kami di NICU selama hampir 2 bulan sejak tanggal 12 Juli 2018. Anak kami sempat dalam kondisi yang mengkhawatirkan, berat badan menurun, diare, panas tinggi bahkan sempat beberapa kali dipasang oksigen. Alhamdulillaah setelah berat badan bertambah dan kondisinya stabil, anak kami diperbolehkan pulang. Ini adalah pengalaman kami yang kedua di NICU. Sebelumnya anak kami yang pertama juga lahir dan dirawat di tempat yang sama. Bahkan waktu perawatannya juga hampir sama.
Sebelum kami pulang, dokter memberikan resume terkait perawatan anak saya. Dalam resume itu tertulis "Atresia Ileum". Ternyata itulah istilah kedokteran untuk kelainan yang ada pada sistem pencernaan anak saya. Dan si Atresia Ileum itulah yang sekarang menemaini keseharian saya. Bahkan saya harus meninggalkan pekerjaan saya untuk sementara waktu untuk menemani si Atresia Ileum tadi. Saya harus selalu ada untuknya. Karena tidak ada yang tahu kapan kantongnya rembes atau kapan kantongnya lepas. Jadi mau tidak mau, saya harus terus menemaninya.
Magelang, 22 November 2018
Belum ada Komentar untuk "Atresia Ileum (Part 3)"
Posting Komentar