Puasa untuk Orang yang Telah Meninggal, Bolehkah? Bertentangankah dengan Al Quran?

Puasa untuk Orang yang Telah Meninggal, Bolehkah? Bertentangankah dengan Al Quran?


Pertanyaan:

Dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan kebolehan puasa bagi ayah atau ibu yang telah meninggal dunia (mengganti). Apakah tidak bertentangan denagn ayat 38 dan 39 surat An Najm? Dan apakah hal itu didasarkan nasih-mansuh? Mohon penjelasan. (Fuad Afasar, Jl. Weru Cengkehtui Binjai, Sumut)


Jawaban:

Dalam cara memahami kita tidak mempertentangkan ayat dengan hadits shohih, karena kedudukan hadits antara lain adalah menjelaskan (keumuman) al Quran. Keumuman al Quran bahwa manusia hanya akan mendapatkan hasil usahanya seperti tersebut pada ayat 38 dan 39 surat an Najm, ada beberapa hadits shohih yang menjelaskannya. Penjelasan dapat berupa takhsish (pengkhusus) atau istitsna (pengecualian), seperti ayat tersebut dapat ditakhsish antara lain dengan hadits yang membolehkan anak melunasi puasa ayah dan ibunya yang berhutang, seperti hadits riwayat golongan ahli hadits. Anak dapat mengerjakan haji orang tuanya yang karena sesuatu sebab tidak dapat menunaikannya, padahal orang tuanya telah bernadzar. Hal ini disebutkan dalam riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas, demikian pula diriwayatkan oleh Ad Daaruquthniy dari Ibnu Abbas. Orang yang berhutang tetapi belum dapat melunasi, Allaah SWT akan menyaurnya. Tetapi kalau memang ia tidak mempunyai niat menyaur (melunasi), tetap ia diminta tanggung jawab (tersebut dalam hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah). Banyak hadits yang demikian.

Dalm hal ini, ada hadits shahih ahad yang memberikan penjelasan tentang pelaksanaan hukum yang bersifat umum, sebagaimana dalam shalat, makmum yang mendengar bacaan imam dalam shalat jahr, harus membaca al Fatihah pula. Membaca al Fatihah sendiri dalam shalat berdasarkan hadits , yang menurut ketentuan al Quran diperintahkan hanya untuk membaca yang mudah saja dari ayat al Quran.

Ringkasnya, takhsish atau istitsna dari hadits terhadap al Quran yang bersifat umum tidak dipandang ta’arudh (bertentangan) dan tidak perlu ditarjih, tetapi diamalkan seperti yang disebutkan dalam nash. Hadits tersebut tidak dapat diqiyas. Misalnya kalau hutang puasa orang tua dapat disaur (dilakukan) oleh anaknya, maka hutang shakat juga dapat disaur (dilakukan). Tidaklah demikian, karena memang tidak ada keterangan dalam hadits yang shahih.


Wallaahu a’lam

Sumber: Buku “Tanya Jawab Agama Jilid II”, Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Suara Muhammadiyah, Cetakan V, 2001.

Belum ada Komentar untuk "Puasa untuk Orang yang Telah Meninggal, Bolehkah? Bertentangankah dengan Al Quran?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel