Walimah Khitan (Sunat) dan Nikah

Walimah Khitan (Sunat) dan Nikah


Pertanyaan:

Apakah ada tuntunan mengenai walimah khitan? Dan bagaimana hukumnya kalau kita mengadakan walimah untuk khitanan itu? Selanjutnya mohon diberi keterangan sekitar walimah nikah atau walimatul ‘arus. Apakah bersamaan dengan akad atau sesudah suami-istri yang nikah itu akad dan berkumpul (dukhul)? Mohon penjelasan. (L. Hakim, Lgn. No. C8157, Solokuro, Paciran, Lamongan, Jatim)

Jawaban:

Memang tidak ada tuntunan secara khusus orang yang mengkhitankan puteranya untuk mengadakan walimah sebagaimana ‘aqiqah dan walimatul ‘ursi. Sekalipun demikian, kalau ada orang tua yang mengadakan syukuran karena anaknya telah sembun dengan mengundang teman-teman yang dikhitan bukanlah sesuatu yang dilarang, asal tidak berlebih-lebihan.

Mengenai walimatul ‘ursi atau walimah dalam rangka pernikahan, memang ada perintah. Tetapi juga ada batas-batasnya. Perintah mengadakan walimah bagi orang yang melangsungkan pernikahan ini ialah sabda Nabi Muhammad SAW riwayat Bukhari dan Muslim yang ditujukan kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf ketika ia menikah, “Aulim walau bisyaatin.”, artinya adakanlah walimah sekalipun hanya dengan (menyembelih) satu ekor kambing. Hadits ini selain diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, juga diriwayatkan oleh Malik dalam Muwaththa’ dan Ahmad.

Dari berbagai riwayat kita dapati bahwa mengadakan walimah ini tidak mesti harus dengan menyembelih kambing. Berdasarkan beberapa riwayat, Nabi Muhammad SAW sendiri tidak selalu menyembelih kambing dalam pernikahannya. Seperti menurut riwayat Bukhari, pernah Nabi Muhammad SAW mengadakan walimah hanya dengan dua mud gandum saja. Dengan kata lain, walimah itu diadakan dengan sederhana sesuai kemampuan yang ada, tidak berlebih-lebihan. Dalam walimah dapat diadakan kesenian (yang sesuai dengan prinsip-prinsip keIslaman). Hadits-hadits di bawah kiranya memberikan petunjuk hal itu.

a. Hadits riwayat Ahmad dan Bukhari dari Aisyah yang artinya:

“Dari Aisyah ra.: Bahwa sesungguhnya seorang wanita telah dibawa ke rumah pengantin laki-laki dari kalangan kaum Anshar, lalu Nabi Muhammad SAW bersabda: Wahai Aisyah, tidak adakah bersama kalian permainan? Sesungguhnya orang Anshar itu senang akan permainan.” (HR. Ahmad dan Bukhari)


b. Hadits riwayat Bukhari, Abu Dawud dan at Tirmidziy yang artinya:

“Dari Rubai binti Mu’awwidz, ia berkata: Datang keladku Nabi Muhammad SAW pada pagi hari dikala perkawinanku dilangsungkan. Maka Nabi Muhammad SAW pun duduk di atas hamparanku seperti majelis duduk dari padaku ini, puteri-puteri Jariyah memukul genderang menyebut-nyebut orang yang syahid di medan perang Badar. Tiba-tiba ada salah seorang puteri Jariyah itu mengatakan: Dan di kalangan kita ada sesorang yang mengetahui apa yang akan terjadi besok. Nabi Muhammad SAW lalu bersabda: Jangan engkau mengatakan demikian, katakan saja dengan apa yang telah Engkau katakan.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, dan At Tirmidziy)

Selanjutnya bagi orang yang menyelenggarakan walimah, yang dalam pelaksanaannya kadang berlebih-lebihan, bahkan yang diundang pun khusus orang-orang terpandang, maka tuntunan Rasulullaah SAW seperti yang terdapat pada hadits di depan menghendaki kesederhanaan. Juga undangan hendaknya diberikan kepada kerabat, kenalan dan tetangga, baik yang kaya maupun yang miskin. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim di bawah ini memberikan kecaman terhadap suatu walimah yang tidak mengundang para fuqoro (orang-orang fkir) dan masakin (orang-orang miskin).


شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الوَلِيْمَةِ تُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاُ وَ تُتْرَكُ الفُقَرَاءُ

(متفق عليه)

“Sejelek-jelek makanan (maksudnya jamuan) adalah makanan dalam walimah yang diundang hanya orang-orang yang kaya dan tidak diundang  (meninggalkan) orang-orang yang fakir

(HR. Bukhari Muslim)


Tentang waktu pengadaan walimah, dalam hadits tidak ditetapkan apakah sewaktu akad, apakah setelah dukhul. As Sayid Sabiq dalam kitab Fiqhussunnah menyatakan bahwa hal itu berdasarkan kebiasaan, tetapi dalam akhir keterangannya menyebutkan bahwa menurut Bukhari, Nabi mengundang orang banyak sesudah berkumpul (dukhul) dengan Zaenab. Hanya saja tidak dikemukakan haditsnya. Mengenai walimah Nabi Muhammad SAW ketika menikah dengan Zaenab berdasarkan hadits riwayat Muslim dari Anas, yang artinya demikian:


Dari Anas ia berkata: “Setelah Nabi Muhammad SAW menikahi Zaenab, Ummu Sulaim memberikan makanan (berupa campuran dari kurma samin dan tepung bernama hais) dalam talam terbiat dari batu.” Selanjutnya Anas berkata, bahwa Rasulullaah SAW bersabda: ‘Pergilah kau (Anas) dan undanglah yang kau temui dari kaum muslimin.’ Maka aku undanglah orang-orang yang aku temui untuk (memenuhi undangan) Nabi Muhammad SAW. Kemudian mulai berdatanganlah mereka dan mereka makan dan selanjutnya mereka keluar. Nabi meletakkan tangannya pada makanan itu dan berdoa. Beliau berucap menurut kehendak Allaah SWT apa yang akan beliau ucapkan, sedang saya tidak meninggalkan seorang pun yang saya jumpai untuk saya undang untuknya, sehingga mereka makan dan merasa kenyang … dan seterusnya (HR. Muslim)


Melihat hadits di atas, undangan walimah Nabi Muhammad SAW diberikan setelah selesai nikah dan setelah Nabi Muhammad SAW mendapatkan bahan (makanan) walimah tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa walimah tidak mesti pada waktu akad atau juga tidak mesti sesudah dukhul, yang terpenting masih dalam rangkaian pernikahan tersebut untuk mendapatkan persaksian dan doa masyarakat. Sebagaimana apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW apabila ada orang yang melangsungkan pernikahan, beliau mendoakannya.


بَارَكَ اللهُ لَكَ وَ بَارَكَ عَلَيْكَ وَ جَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ الْخَيْرِ

Semoga barokah Allaah SWT tetap untukmu dan semoga Allaah SWT selalu memberkahi dan Allaah SWT mengumpulkan engkau berdua (suami-istri) dalam suasana baik (HR. at Tirmidzi)



Wallaahu a’lam

Sumber: Buku “Tanya Jawab Agama Jilid II”, Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Suara Muhammadiyah, Cetakan V, 2001.


Belum ada Komentar untuk "Walimah Khitan (Sunat) dan Nikah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel