Muhasabah sebagai Alat Ukur #1

Muhasabah sebagai Alat Ukur #1


Pagi ini lalu lintas sudah mulai ramai. Jalan masih didominasi oleh mereka yang menuju ke sekolah. Diantara mereka ada yang diantar oleh orang tua, tidak sedikit juga yang mengendarai motor mereka masing-masing. Yang masih memprihatinkan adalah mayoritas mereka tidak menggunakan helm. Mungkin tidak punya, atau mungkin tidak mau menggunakan karena tidak mau merusak sisiran rambut, panas, berat, sumpek dan alasan-alasan lainnya sebagai pembenaran. Semoga semuanya selalu dalam lindungan Allaah SWT. Aamiiin…

Biasanya, setelah kelompok pelajar, akan disusul oleh para pekerja. Dinginnya pagi tidak menghalangi mereka untuk beraktifitas. Para pelajar sibuk dengan proses belajarnya. Sedangkan para pekerja dengan pekerjaannya masing-masing. Kebutuhan mereka memang berbeda. Pelajar butuh ilmu, tetapi para pekerja butuh uang. Tahapan kehidupan memang begitu. Setelah melalui tahapan pencarian ilmu dan pengalaman, kemudian akan berpindah pada tahan selanjutnya, mencari uang. Walau tidak sedikit dari mereka, yang sudah pada tahap mencari uang, masih terus mencari ilmu. Memang begitulah seharusnya.

Ada sebuah ungkapan, uang bukanlah segalanya, tetapi segalanya butuh uang. Ungkapan ini mudah-mudahan tidak difahami secara salah. Jika ungkapan ini difahami dengan pandangan dunia saja, maka yang ada, semua hal dinilai dan bernilai dengan uang. Ini jelas bahaya.

Padahal, tidak semua yang kita butuhkan dan perlukan bersumber dari uang. Konsep rizki tidak begitu. Kebutuhan yang terus kita usahakan, ikhtiarkan, tidak harus kita dapatkan dengan uang. Bisa jadi kebutuhan itu kita dapatkan melalui perantara orang lain, dan tidak perlu mengeluarkan uang.

Kalau kita sudah tahu, percaya dan yakin bahwa rizki itu mutlak dari Allaah SWT, juga tidak harus berupa uang (bisa sehat, waktu luang untuk keluarga, dll), maka kita tidak perlu memaksakan diri untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, walau memang kebutuhan kita cukup banyak. Dengan begitu kita akan adil pada diri sendiri dan orang lain. Waktu istirahat tidak kita gunakan untuk bekerja. Waktu beribadah, masih juga dipakai untuk bekerja, atau waktu ibadah hanya mendapat sisa-sisa tenaga setelah bekerja seharian mencari uang. Bahkan, seharusnya bekerja itu diniatkan untuk ibadah, tetapi niat itu luput karena hanya fokus pada kebutuhan, uang semata. Bekerja hanya untuk mendapatkan gaji.

Jika hanya uang yang dikejar, tidak heran kita temukan orang yang tidak amanah pada pekerjaan. Banyak menerima pekerjaan, tetapi tidak dijalankan dengan maksimal. Menurutnya, dengan menerima banyak amanah pekerjaan, akan semakin menambah pendapatannya. Sekilas memang tidak ada yang salah. Hal itu boleh-boleh saja, asal dilakukan dengan penuh tanggung jawab dengan harapan tidak mendholimi siapapun termasuk diri sendiri apalagi orang lain.

Maka hal itu bisa dicegah dengan mengenal diri, khususnya kemampuan diri. Tidak semua tawaran yang datang harus di-”iya”-kan. Mampu tidak waktunya. Mampu tidak fisiknya. Mampu tidak ilmunya. Jika waktunya yang tidak mampu, tidak cukup, tidak ada pilihan lain, penolakan akan menyelamatkan semuanya. Tetapi jika ilmunya belum mampu, maka mampu tidak untuk terus belajar. Karena keinginan belajar, bagi sebagian orang merupakan hal yang susah. Tidak sedikit yang merasa sudah punya semuanya, tidak perlu lagi belajar. Bagitu juga dengan “mampu-mampu” yang lain. Maka di sini penting untuk terus melakukan muhasabah diri, instropeksi diri. Jangan asal ingin mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, contoh uang, kemudian kita ambil semua pekerjaan. Hingga akhirnya, karena kita memaksakannya, ada yang terdholimi termasuk diri kita sendiri dan yang paling berbahaya adalah kedholiman pada orang lain termasuk keluarga kita.

Jatah dan jalan rizki sudah Allaah SWT tetapkan. Bekerja maksimal dengan ukuran yang jujur, akan menjauhkan kita dari kedholiman yang mungkin akan kita lakukan, baik yang disengaja maupun tidak. Semoga Allaah SWT senantiasa menuntun langkah kita dan memberikan petunjuk untuk selalu memilih hal terbaik menurut Allaah SWT.

Dengan dunia jangan rakus. Karena dunia adalah ketidakkekalan yang terbungkus bagus.

Indahnya dunia banyak yang tertipu, padahal semu.

Mari ambil amanah yang kita mampu, kita tinggalkan (dulu, untuk sementara waktu) yang tidak kita mampu.

Terus belajar untuk dapat meningkatkan kualitas. Semoga Allaah SWT memudahkan semua impian dengan tuntas.

Aamiiin.


Wallaahu a’lam…

Belum ada Komentar untuk "Muhasabah sebagai Alat Ukur #1"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel