Hadis Dho’if sebagai Hujjah (Dalil), Bolehkah?

Hadis Dho’if sebagai Hujjah (Dalil), Bolehkah?


Pertanyaan:

Apakah benar Hadis Dho’if dapat dijadikan dasar untuk beribadah, tidak boleh dijadikan hujjah (dalil)? (Siti Hindun, Guru DP pada TK ABA Curup, Bengkulu)


Jawaban:

Kepada saudara Siti Hindun, pertanyaan Anda sangat penting. Hanya saja perlu dibetulkan sedikit sesuai dengan apa yang sering berkembang di kalangan ahli Hadis, yaitu dapatkah Hadis Dho’if dijadikan dasar (hujjah) untuk menentukan keutamaan amal (fadhilat al-A’mal), tetapi tidak dapat dijadikan dasar (hujjah) untuk menentukan masalah hukum termasuk ibadah?

Dari segi nilai otentitasnya, Hadis dibagi kepada tiga tingkatan, yaitu Hadis Shahih, Hadis Hasan dan Hadis Dho’if. Dengan Hadis Shahih dimaksudkan suatu hadis yang bersambung sanadnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW, diriwayatkan oleh para rawi yang ‘adil (handal kualitas moral dan spiritual) dan dhabit (handal kapasitas intelektualnya) serta tidak mengandung kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illah). Jadi kriteria Hadis Shahih itu ada lima, yaitu:

1. Sanadnya bersambung

2. Diriwayatkan oleh perawi yang mempunyai kehandalan moral dan spiritual

3. Juga memiliki ketelitian yang tinggi

4. Bebas dari kejanggalan

5. Bebas dari cacat

Di bawah derajat Hadis Shahih adalah Hadis Hasan yang mempunyai kriteria seperti Hadis Shahih di atas, kecuali kriteria nomor 3, di mana perawi Hadis Hasan kurang handal dari segi kecerdasan dan kekuatan daya ingatnya dibanding dengan perawi Hadis Shahih.

Jadi perbedaan Hadis Hasan dengan Hadis Shahih terletak pada kedhabitan (ketelitian, kecermatan dan kekuatan daya ingat) perawinya, di mana Hadis Shahih amat teliti, cermat dan kuat daya ingatnya, sedangkan Hadis Hasan kurang kecermatan, ketelitian dan daya ingat perawinya. Hadis Hasan itu ada yang Hasan karena sendirinya dan ada pula Hasan karena sebab lain, yaitu misalnya dia Dhoi’if dengan kedho’ifan yang tidak sampai pada kepalsuan, ada indikasi kuat dari Rasulullaah SAW, sesuai dengan kaidah pokok Agama Islam dan banyak sanadnya. Hadis seperti itu merupakan Hadis Hasan li ghairihi (Hasan karana sebab lain). Di bawah derajat hasan adalah Hadis dho’if, yang oleh ulama hadis diartikan sebagai hadis yang tidak memenuhi kriteria Hadis Shahih dan Hasan.

Perlu diketahui, bahwa klasifiksi Hadis kepada tiga tingkatan seperti di atas adalah pembagian yang dikenal oleh ahli-ahi Hadis yang agak kemudian. Dr. Subhi ash-Shalih menegaskan bahwa Imam Tirmidzi-lah (w. 279 H) ahli Hadis pertama yang mencoba mengisyaratkan adanya konsep Hadits Hasan. Ulama-ulama Hadis yang awal, sepeti Imam Ahmad (164-241 H), membedakan hadis kepada dua tingkat saja, yaitu Hadis Shahih dan Hadis Dho’if. Bagi mereka, ini apa yang disebut Hadis Hasan termasuk dalam kelompok Hadis Dho’if. Jadi Hadis Dho’if itu bertingkat-tingkat pula, ada yang dapat diterima karena keDho’ifannya tidak terlalu besar dan seperti dikatakan tadi ada alasan-alasan yang mengharuskan kita menerimanya, misalnya jalur periwayatannya yang banyak, sesuai dengan kaidah umum agama Islam dan seterusnya.

Dalam hubungan ini memang ada berkembang di kalangan sebagian orang ungkapan:

يَجُوْزُ الْعَمَلُ بِالضَّعِيْفِ فِيْ فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ

Boleh mengamalkan Hadis Dho’if untuk menerangkan keutamaan-keutamaan amal.

Ungkapan ini sendiri berkembang atau merupakan gema dari ungkapan lain yang serupa dinishbatkan kepada tiga ulama besar ahli hadis dan fiqih, yaitu Imam Ahmad (w. 241 H), Abdur Rahman Ibnu Mahdi (w. 198 H) dan Abdullah Ibnu al-Mubarak (w. 181 H) yang diriwayatkan, “Apabila kami meriwayatkan hadis mengenai halal dan haram kami mengetatkan periwayatannya dan apabila kami meriwayatkan mengenai keutamaan-keutamaan amal dan semacamnya kami melonggarkan periwayatan.”

Yang dimaksud oleh para ulama tersebut adalah bahwa dalam masalah halal dan haram (masalah hukum) mereka mengetatkan penyelesaian hadis dan mereka hanya mengambil hadis yang disepakati sebagai Hadis Shahih. Akan tetepi dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah di luar hukum, seperti masalah keutamaan amal dan akhlak, mereka menerima juga hadis-hadis yang tidak mencapai derajat Shahih, tetapi tidak pula disebut Dho’if, yakni Hadis Hasan.

Jadi dengan ungkapan di atas dimaksudkan bahwa Hadis Dho’if dapat diterima untuk fadhilah dan keutamaan amal. Yang dimaksud adalah hadis yang kedho’ifan tidak terlalu besar, dengan kata lain, maksudnya adalah Hadis Dho’if yang karena beberapa alasan meningkat menjadi Hadis Hasan li ghoirih.

Muhammadiyah, melalui Majelis Tarjih, telah memutuskan 11 (sebelas) butir kaidah menyangkut hadis (HPT, halaman 300-301). Butir ke tujuh dari kaidah tersebut berbunyi: “Hadis-hadis Dho’if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah (dalil) kecuali apabila banyak jalur sanadnya dan terdapat tanda-tanda yang menunjukkan ketetapan sumbernya serta tidak bertentangan dengan al-Quran dan Hadis Shahih”.

Kehadiran kaidah ini memang sempat menjadi permasalahan di kalangan sebagian orang Muhammadiyah, karena kaidah ini dirasa bertentangan dengan bagian lain keputusan Tarjih yang menyatakan bahwa sumber Agama Islam itu adalah al-Quran dan Sunnah Shahihah (HPT, halaman 276). Mereka mengidentikkan Sunnah Shahihah dengan Hadis Shahih dalam pengertian Ilmu Hadis.

Dengan berpegang pada definisi Agama Islam yang bersumberkan kepada al-Quran dan Sunnah Shahihah dan dengan menolak kaidah Hadis Dho’if yang dikutip di atas, sebuah Majelis Tarjih Wilayah di Jawa pada tahun 1973 memutuskan bahwa takbir shalat ‘Ied itu hanya satu kali seperti shalat biasa, tidak 7-5, karena takbir ganda (7-5) itu berdasarkan hadis-hadis Dho’if dan Majelis Tarjih Wilayah tersebut menolak Hadis Dho’if sebagai hujjah (dalil) walaupun banyak jumlahnya dan mereka berpegang kepada Sunnah Shahihah (Suara Muhammadiyah No. 9 th. ke 57, 1977, halaman 12). Sedangkan Majelis Tarjih Pusat berpendapat bahwa Sunnah Shahihah tidaklah identik dengan Hadis Shahih dalam pengertian Ilmu Hadis. Dengan Hadis Shahihah dimaksudkan Sunnah Maqbuulah (hadis-hadis yang dapat diterima) walaupun tidak tidak sampai pada tingkat shahih. Hadis-hadis yang banyak jalur sanadnya sehingga saling menguatkan dan kerana itu menjadi Hadis Hasan li ghairihi.

Tahun 1997 diadakan diskusi panel tentang kaidah Hadis Dho’if  ini dan kesimpulannya adalah bahwa kaidah tersebut sudah benar dan kesimpulannya adalah bahwa kaidah tersebut sudah benar dan dapat diterima karena itu tidak perlu direvisi (Suara Muhammadiyah No. 17/1977 halaman 16). Kemudian kaidah tersebut dikukuhkan dalam Muktamar Tarjih sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW di masa mendatang sebagai hasil jerih payah dakwah bil hal.

Jadi kesimpulannya adalah:

1. Hadis Dho’if tidak dapat dijadikan hujjah baik dalam masalah hukum, termasuk ibadah, maupun dalam masalah menerangkan keutamaan amal dan akhlak.

2. Yang bisa dijadikan hujjah adalah Hadis Shahih dan Hasan, termasuk Hasan li ghairihi.


Wallaahu a'lam.

Sumber: Buku Tanya-Jawab Agama IV, Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Suara Muhammadiyah, 1997.

Belum ada Komentar untuk "Hadis Dho’if sebagai Hujjah (Dalil), Bolehkah?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel