Orang yang Belum Menerima Dakwah Rasul SAW

Orang yang Belum Menerima Dakwah Rasul SAW


Pertanyaan:

a. Kami dulu pernah diajar oleh seorang guru bahwa apabila manusia itu terasing, misalnya di hutan sendirian, dan idak pernah mendengar seruan untuk beribadah, maka di hari kiamat nanti akan bebas tanpa proses pengadilan, seperti halnya orang gila. Benarkah ini dan apa dasarnya?

b. Bila ada orang yang hidup di hutan, tidak pernah mendengar dakwah Rasulullaah SAW, tetapi suatu saat ia berfikir dan mengccap kebudayaan lalu mengakui keberadaan Tuhan, tetapi tidak berhasil melaksanakan ibadah seperti orang muslim, dan terus meninggal dalam keadaan akhlak tidak terpuji, bisakah orang itu masuk surga?

(Jamaah Masjid al-Muhajirin, Desa Soko, Ponorogo)


Jawaban:

Kedua pertanyaan di atas sebenarnya merupakan suatu masalah, yaitu apakah orang yang belum sampai kepadanya dakwah Rasul atau hidup dalam masa sebelum datangnya Rasul SAW dikenai taklif (perintah dan larangan Tuhan) atau tidak? Masalah ini adalah masalah klasik yang telah menjadi perdebatan ulama sejak masa awal dalam Islam, terutama di kalangan ulama Kalam dan Ushul Fiqih. Secara umum mereka terbagi kepada dua kelompok pendapat dalam menjawab masalah tersebut.

Pendapat pertama mengatakan, bahwa orang yang belum sampai dakwah Rasul kepadanya itu tetap dikenai taklif, karena ia telah dianugerahi akal oleh Tuhan, yang dengan akal itu ia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, dan dapat pula mengenal Tuhan dan melakukan kesyukuran kepadaNya.

Pendapat kedua menyatakan sebaliknya. Orang yang belum tahu tentang adanya dakwah Rasul itu sama sekali tidak dikenai taklif, sebab akal manusia semata tidak dapat mengetahui yang baik dan yang buruk, dan tidak dapat memahami wajibnya melakukan kesyukuran kepada Tuhan Pemberi Nikmat. Semua itu hanya dapat diketahui oleh manusia melalui wahyu Tuhan yang dibawa oleh seorang Rasul. Oleh karena itu tidak wajib atasnya untuk beriman dan beramal shaleh serta tidak diharamkan atasnya kufur dan perbuatan maksiat.

Di dalam al-Quran memang terdapat ayat-ayat yang bisa diinterpretasikan untuk mendukung kedua faham tersebut. Pendapat kedua, misalnya, dapat dikuatkan dengan firman Allaah SWT:

وَ مَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلًا

Dan Kami tidak akan memberi siksa sebelum Kami mengirim seorang Rasul. (QS. al-Isra’ : 15)

Ayat-ayat lain yang menunjukkan pengertian yang sama, di antaranya firman Allaah SWT berikut ini:

وَ مَا كَانَ رَبُّكَ مُلْلِكَ الْقُرٰى حَتَّى يَبْعَثَ فِيْ أُمِّهَا رَسُوْلًا يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ أٰيٰتِنَا

Dan tidaklah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibu kota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka… (QS. al-Qashash : 59)

Dan juga dalam surat an-Nisa (4) ayat 165 yang artinya:

(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allaah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu…

Dalam ayat lain:

وَ لَوْ أَنَّا أَهْلَكْنٰكُمْ بِعَذَابٍ مِنْ قَبْلِهِ لَقَالُوْا رَبَّنَا لَوْلَٓا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُوْلًا فَنَتَّبِعَ أٰيٰتِكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَذِلَّ وَ نَخْزَى

Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu adzab sebelum al-Quran itu (diturunkan), tentulah mereka berkata: “Ya Tuhan kami, mengapa tidak Engkau utus seorang Rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah? (Thaha : 134)

Sebaliknya terdapat ayat-ayat yang secara umum menyatakan bahwa siapa pun yang percaya adanya Tuhan dan hari Kemudian serta berbuat baik akan mendapat keselamatan di akhirat, seperti firman Allaah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 62 yang artinya: 

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabiin, siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allaah SWT dan hari kemudian serta beramal sholih, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih.

Di samping itu terdapat pula ayat yang menyatakan bahwa “tidak sama yang buruk dengan yang baik” (QS. Al-Maidah ayat 100). Ini berarti bahwa siapapun yang berbuat baik tidak sama nasibnya di hadapan Allaah SWT dengan orang yang berbuat buruk.

Mengenai as-Sunnah, sepanjang penelitian yang dilakukan sejauh ini, belum ditemukan nash Hadis yang langsung mengenai masalah ini. Lagi pula masalah-masalah aqidah harus didasarkan atas Hadis-Hadis yang mutawatir, yang dalam kenyataannya agak langka. Oleh karena itu pendapat-pendapat mengenai masalah ini biasanya didasarkan pada ayat-ayat al-Quran yang disebut di atas.

Penafsiran-penafsiran kompromis terhadap ayat di atas telah banyak diusahakan. Muhammad Abduh dan Rasyid Rida dalam Tafsir al-Manar (VI:70 dst), ketika menafsirkan ayat 165 surat an-Nisa’ , menyatakan bahwa orang yang memegangi al-Quran secara keseluruhan dan memahami hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya akan mengetahui bahwa agama itu adalah ketetapan Ilahi yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia sendiri, melainkan hanya bisa diketahui melalui wahyu. Akan tetapi bersamaan dengan hal itu, agama juga sejalan dengan fitrah manusia dalam usaha menyucikan diri dan mempersiapkan kehidupan.

Memang terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allaah Yang Maha Esa, Tinggi, tidak akan menghukum manusia karena melanggar apa yang diajarkan para Rasul, kecuali kalau mereka telah menerima dakwah dari para Rasul itu dan telah tegak hujah agama terhadap mereka. Hal itu karena hukuman jenis ini berdasarkan ketetapan Ilahi dan tidak akan terwujud tanpa adanya ketetapan Tuhan yang mengakibatkan adanya hukuman itu. Namun demikian, terdapat juga ayat-ayat lain yang menunjukkan adanya hisab dan balasan umum serta secara adil sesuai dengan pengaruh perbuatan-perbuatan terhadap diri manusia. Barang siapa berbuat buruk dan mengotori jiwanya tidak mungkin sama di sisi Allaah SWT dengan orang yang berbuat baik dan membersihkan dirinya. Apakah akal sehat akan mengatakan bahwa jiwa orang yang belum menerima dakwah agama itu sama di sisi Allaah SWT, padahal kelakuan, kepercayaan dan akhlak mereka berbeda dari segi baik buruknya? “Katakanlah: tidak sama yang buruk dengan yang baik…” (QS. Al-Maidah ayat 100). “Perbandingan kedua itu seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan mendengar. Apakah kedua golongan itu sama perbandingannya? Tidakkah kamu mengambil pelajaran.” (QS. Hud ayat 24).

Walhasil, dapatlah dikatakan bahwa orang yang belum menerima dakwa Rasul, tetapi mengakui dan beriman terhadap keberadaan Tuhan dan hari pembalasan serta berbuat kebajikan akan mendapatkan balasan Tuhan, walaupun dia belum beribadah kepadaNya, seperti yang dilakukan oleh ummat Islam. Kewajiban beribadah itu hanya berlaku bagi orang yang telah sampai kepadanya dakwah agama. Jadi sulitlah diterima pandangan bahwa orang yang belum menerima dakwah Rasul itu sama seperti orang gial, yaitu tidak diperhitungkan kebajikan dan keburukannya.













Belum ada Komentar untuk "Orang yang Belum Menerima Dakwah Rasul SAW"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel